Sabtu, 14 November 2009

Ketika Wanita Menggoda

Allah ta'ala telah menganugerahkan kepada kaum wanita keindahan yang membuat kaum lelaki tertarik kepada mereka. Namun syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Tapi kenyataan yang kita jumpai sekarang ini wanita justru menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa. Benarlah sabda Rasulullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana beliau bersabda, "Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita." (HR. Bukhari Muslim)

Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf 'alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik." (QS. Yusuf: 23)

Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, "Aku akan menggoda lelaki ini." Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, "Ada apa denganmu?" Wanita itu berkata, "Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?" Beliau malah kemudian melantunkan syair,"Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua." (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, "Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita." (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.

Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: "Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka."

Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: "Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat..."

Wallahul Musta'an.

***

Penulis: Abu Harun Aminuddin
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/ketika-wanita-menggoda.html

Keutamaan Shalat Tathawwu'

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة قال يقول ربنا عزوجل لملائكته وهو أعلم  انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها فإن كانت تامة كتبت له تامة وإن كان انتقص منها شيئا قال انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فإن كان له تطوع قال أتموا لعبدي فريضته من تطوعه ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم

"Sesungguhnya amal ibadah manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah shalat (wajib lima waktu), Allah Ta'ala berfirman kepada para malaikat –dan Dia Maha Mengetahui (segala sesuatu)–: 'Periksalah shalat (lima waktu yang telah dikerjakan) hamba-Ku, apakah dia telah sempurna atau ada yang kurang?' Kalau shalatnya telah sempurna maka dituliskan baginya (pahala) yang sempurna, kalau ada yang kurang dalam shalatnya, Allah berfirman: 'Apakah hamba-Ku pernah mengerjakan shalat tathawwu'?' Kalau hamba tersebut pernah mengerjakan shalat sunnah tathawwu', Allah berfirman: 'Sempurnakanlah bagi hamba-Ku (kekurangan) shalat (wajib lima waktu) dengan shalat tathawwu''. Kemudian amal-amal ibadah lainnya akan diperhitungkan seperti itu." [1]


Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan dan salah satu hikmah besar disyariatkannya shalat tathawwu'. [2]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin mengatakan, "Ketahuilah, sungguh termasuk nikmat Allah (yang agung) dengan Dia mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya amal-amal ibadah sunnah tambahan untuk menyempurnakan (kekurangan) amal-amal yang wajib, karena (bagaimana pun) amal-amal yang wajib tidak akan luput dari kekurangan." [3]

Mutiara Hikmah

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

Shalat tathawwu' adalah semua shalat yang disyariatkan dalam agama Islam, selain shalat wajib lima waktu, baik yang hukumnya wajib atau sunnah (anjuran) [4].
Agungnya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam, karena shalat adalah ibadah yang pertama kali Allah Ta'ala wajibkan kepada manusia setelah kewajiban beriman (dua kalimat syahadat), maka shalat adalah panji iman dan bendera Islam[5].
'Umar bin Khattab mengatakan, "Hisablah (introspeksilah) dirimu saat ini sebelum engkau dihisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu saat ini sebelum amal perbuatanmu ditimbang (pada hari kiamat nanti)." [6]
Agungnya rahmat dan kasih sayang Allah Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya dengan menyempurnakan kekurangan pada ibadah wajib mereka dengan ibadah sunnah yang mereka kerjakan. [7]
Arti 'kekurangan yang disempurnakan" dalam hadits ini adalah ketidaksempurnaan dalam melaksanakan amal-amal wajib dalam shalat, atau amal-amal yang disyariatkan seperti khusyu', dzikir-dzikir maupun doa dalam shalat. [8]
Hamba Allah yang paling mulia di sisi Allah adalah yang melaksanakan amal-amal ibadah yang wajib dengan baik, dan banyak mengerjakan amal-amal sunnah, sehingga Allah Ta'ala pun mencintainya, inilah wali (kekasih) Allah Ta'ala yang sesungguhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[9] (yang menjelaskan tentang wali Allah, ed).
Keutamaan memperbanyak shalat tathawwu' dan amal-amal sunnah lainnya, karena semakin banyak amalan sunnah yang kita kerjakan maka semakin besar pula peluang kita untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban kita, untuk keselamatan kita di hari kemudian.
Dahsyatnya perhitungan amal pada hari kiamat, karena pada waktu itu yang bermanfaat hanyalah amal perbuatan manusia, bukan harta atau kemewahan dunia yang mereka miliki.


***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Footnote:

[1] HR Abu Dawud (no. 864), an-Nasa-i (1/232-233), at-Tirmidzi (no. 413) dan Ibnu Majah (no. 1425 dan 1426), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami'ish Shagiir (no. 2020).

[2] Lihat kitab Bugyatul Mutathawwi' (hal. 16)

[3] Kitab Syarh Riyadhish Shaalihiin (3/282).

[4] Lihat kitab Bugyatul mutathawwi' (hal. 12).

[5] Lihat kitab Faidhul Qadiir (3/87).

[6] Ucapan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang terkenal, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan.

[7] Lihat kitab Bahjatun Naazhiriin (2/281).

[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi (2/384).

[9] HSR al-Bukhari (no. 6137).

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/keutamaan-shalat-tathawwu.html

Jumat, 13 November 2009

Kritik Anjuran Adzan di Telinga Bayi

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur'an dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al Qur'an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada pembahasan kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang baru lahir disyari'atkan (disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar dalam muqodimah, silaka
n simak pembahasan berikut ini.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi'i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi'i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).

Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.

Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi'iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur'an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." (Qs. Asy-Syuura: 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, "Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala pada ayat yang lain,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)." (Qs. An Nisa' [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:

Dari 'Ubaidillah bin Abi Rofi', dari ayahnya (Abu Rofi'), beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

"Aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin 'Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin 'Ali, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

"Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya." (Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin 'Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri." (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-Hadits di Atas

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,

مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ

yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, 'Ashim bin 'Ubaidillah, 'Ubaidullah bin Abi Rofi', dan Abu Rofi'.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah 'Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai 'Ashim dho'if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma'in mengatakan 'Ashim dho'if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa 'Ashim adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho'if).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,

حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al 'Alaa', Marwan bin Salim, Tholhah bin 'Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho'if (lemah).

Yahya bin Al 'Alaa' dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho'ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al 'Alaa' dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho'if (lemah) menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس

yaitu: Ali bin Ahmad bin 'Abdan, Ahmad bin 'Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma'bad, dan Ibnu Abbas.

Al Baihaqi sendiri dalam Syu'abul Iman menilai hadits ini dho'if (lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu' (palsu) atau mendekati maudhu'.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho'if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho'ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.

Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan, "Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan)." (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu' (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.

Jika ada yang mengatakan, "Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini." Cukup kami sanggah, "Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba engkau memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar."

Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau ditanya, "Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah, pen)?"

Imam Malik lantas menjawab, "Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja." (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)"

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa'ana bimaa 'allamtana, wa 'alimna maa yanfa'una wa zidnaa 'ilmaa. Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Keterangan:

Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
Hadits dho'if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Hadits maudhu' (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).


***

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/kritik-anjuran-adzan-di-telinga-bayi.html

Ketika Dua Negeri Berseteru

Sedih rasanya melihat dua bangsa berseteru, saling membanggakan diri dan mencaci yang lain, bahkan ada yang menyuarakan peperangan, padahal keduanya adalah negeri kaum muslimin. Lebih miris lagi, perseteruan ini didasari oleh hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukannya saling berlomba dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah Ta'ala, bahkan sebaliknya, mereka malah saling bersaing sampai berseteru dalam hal yang tidak diridhai Allah Ta'ala. Jika demikian adanya, bagaimana mungkin umat Islam menjadi kuat dan kokoh?

Konsep Cinta dan Benci Dalam Islam

Dalam Islam dikenal konsep Al-Wala' wal Bara' (cinta dan benci) yang merupakan konsekuensi dari iman yang benar karena inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata. Konsekuensinya, seorang mukmin akan mencintai segala bentuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah semata dan mencintai orang-orang yang melakukan demikian. Allah Ta'ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar." (Qs. At Taubah: 71)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

"Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna." (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Konsekuensi lain adalah kebalikan dari itu. Seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan maksiat, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (Qs. Al-Mujadalah: 22)

Ringkasnya, seorang mukmin sejati mencintai orang-orang yang menyembah Allah Ta'ala semata dan melakukan ketaatan kepada-Nya, baik ia berbeda suku, berbeda negara, berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda martabat. Dan seorang mukmin dalam hatinya memiliki rasa benci kepada orang yang menyembah kepada selain Allah dan banyak melakukan maksiat, meskipun ia satu negara, meskipun ia satu bahasa, sama warna kulitnya, meskipun ia teman sepermainan, meskipun ia orang tuanya, anaknya, saudara atau pun keluarganya. Inilah konsep cinta dan benci dalam Islam.

Cinta dan Benci Orang Jahiliyah

Masa Jahiliyyah adalah masa sebelum di utusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan pada saat itu dunia diliputi kebodohan terhadap agama, kesesatan, penyimpangan dan kemusyrikan (Lihat Syarh Masa'il Jahiliyyah (8), Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan). Oleh karena itu, Allah Ta'ala banyak mencap buruk orang-orang pada masa Jahiliyyah dalam Al Qur'an Al Karim. Misalnya firman Allah Ta'ala:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

"(Wahai kaum wanita), hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek) sebagaimana tabarujnya orang-orang Jahiliyah yang terdahulu." (Qs. Al Ahdzab: 33)

Oleh karena itu Islam melarang umatnya berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang Jahiliyyah.

Lalu bagaimanakah konsep cinta dan benci yang diterapkan orang-orang Jahiliyyah? Cinta dan benci mereka dibangun atas dasar kesamaan suku dan bangsa. Ketika dua suku berseteru, mereka membenci orang-orang yang masih satu suku bangsa dan membenci orang-orang yang berbeda suku bangsa. Sebagaimana diceritakan hadits:

- كنا في غزاة - قال سفيان مرة : في جيش - فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ، فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) . قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال : (دعوها فإنها منتنة)

"Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: 'Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).' Orang muhajirin tersebut pun berteriak: 'Wahai orang muhajirin (ayo berpihak padaku)'. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: 'Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.' Mereka berkata: 'Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.' Beliau bersabda: 'Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah perbuatan busuk.'" (HR. Al Bukhari no.4905)

Perhatikan dengan baik hadits yang mulia ini. Muhajirin dan Anshar adalah dua kaum yang mulia yang dipuji oleh Allah Ta'ala. Namun tatkala mereka menyerukan fanatisme kesukuan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa sikap tersebut adalah perangai Jahiliyah. Bagaimana lagi dengan kita?

Jangan Berpecah Belah

Perpecahan umat Islam adalah sesuatu yang tercela dalam Islam. Allah Ta'ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (Qs. Al Imran: 104)

Dan sebaliknya, Islam memerintahkan ummat-Nya untuk bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap Muslim di seluruh dunia, tidak hanya antar ummat Muslim di satu negara saja. Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Qs. Al Imran: 102-103)

Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu ditujukan untuk setiap Muslim.

Bahkan, perpecahan diantara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

لا تختلفوا ، فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا

"Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa." (HR. Bukhari no. 2410)

Oleh karena itu, perselisihan antar umat Islam baik yang satu negara ataupun berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Maka, bersatulah wahai kaum muslimin di negara manapun engkau berada!

Muslim Itu Bersaudara

Seorang muslim mempersembahkan cintanya yang paling besar dan yang paling tulus kepada Allah Ta'ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta lain. Cinta kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta seseorang kepada keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya. Konsekuensinya, siapapun yang mencintai Allah Ta'ala, berhak untuk kita cintai. Sebaliknya, siapapun yang mendurhakai Allah Ta'ala, layak untuk kita benci. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

"Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi sesuatu karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, telah sempurna imannya." (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud)

Rasa cinta kepada Allah inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu!" (Qs. Al Hujurat: 10)

Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, berbuat baiklah kepada sesama muslim layaknya saudara!

Apakah seseorang akan membenci saudaranya? Apakah ia akan menjauhi saudaranya? Apakah ia akan menghina saudaranya? Apakah ia akan menzhalimi saudaranya? Sama sekali tidak. Maka demikianlah sepatutnya seorang muslim.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا تحاسدوا . ولا تناجشوا ، ولا تباغضوا ، ولا تدابروا ، ولا يبع بعضكم على بيع بعض . وكونوا ، عباد الله ! إخوانا . المسلم أخو المسلم . لا يظلمه ، ولا يخذله ، ولا يحقره

"Jangan kalian saling hasad! Jangan saling mencurangi! Jangan saling membenci! Jangan saling menjauhi! jangan kalian menawar barang yang sedang ditawar orang lain! Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara! Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh menghinanya." (HR. Muslim no.2564)

Berlombalah Dalam Kebaikan, Bukan Dalam Maksiat

Miris rasanya melihat umat muslim berselisih, bertengkar dan berseteru disebabkan rasa iri dan dengki dalam kemaksiatan. Mereka membangga-banggakan diri atas perkara maksiat dan saling dengki satu sama lain.

Contohnya, mereka berseteru karena musik. Padahal Allah Ta'ala tidak ridha terhadap hal tersebut. Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah." (Qs. Luqman: 6)

Sebagian ahli tafsir, juga sahabat yang mulia, Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud lahwal hadits di dalam ayat ini adalah nyanyian.

Rasul kita shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

ليكونن من أمتي أقوام ، يستحلون الحر والحرير ، والخمر والمعازف

"Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang menghalalkan zina dan sutra, serta khamr dan alat musik." (HR. Bukhari no.5590)

Hadits ini jelas menunjukkan keharaman musik. Dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ridha terhadapnya. Jika Allah Ta'ala dan Rasul-Nya tidak ridha, mengapa kita malah mencintainya? Dan malah berbangga-bangga dengannya?

Wanita yang memamerkan aurat mereka, kemudian berlenggak-lenggok gemulai di depan orang banyak, sungguh mereka telah bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Namun hal ini malah dijadikan kebanggaan dan menjadi sebab pertikaian?

Relakah anda jika wanita-wanita tersebut adalah saudara anda, istri anda, atau anak anda? Relakah anda jika mereka kelak akan menjadi wanita-wanita yang mendapat siksaan yang sangat pedih di neraka? Sebagaimana sabda Rasul kita shallallahu 'alaihi wa sallam:

صنفان من أهل النار لم أرهما . قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس . ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات . رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة . لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها . وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا

"Ada dua jenis manusia penghuni neraka yang aku belum pernah melihat sebelumnya. Yang pertama yaitu orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka mencambuki orang lain. Yang kedua yaitu wanita yang berpakaian namun sebenarnya telanjang, mereka berjalan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka tidak masuk surga, bahkan tidak mencium wanginya surga. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarah yang sangat jauh." (HR. Muslim no. 2128)

Wahai kaum muslimin, buktikan cintamu kepada Allah! Berhentilah berbangga dan berlomba dalam hal yang tidak diridhai Allah Ta'ala! Berlombalah dalam kebaikan dan ketaqwaan! Bukankah anda pernah mendengar firman Allah Ta'ala:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sungguh, yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa." (Qs. Al Hujurat: 13)

Maka irilah kepada saudaramu yang hafal Al Qur'an, irilah kepada saudaramu yang paham ilmu agama, irilah pada saudaramu yang giat beribadah, irilah pada saudaramu yang zuhud dan qanaah. Berusahalah menandingi mereka dalam hal tersebut. Irilah jika ada negeri lain yang masyarakatnya lebih shalih, dan berusahalah menjadikan negeri kita ini lebih shalih dari negeri tersebut.

Benarkah Nasionalisme Bagian Dari Iman?

Pada sebuah kesempatan, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al 'Uqail rahimahullah, seorang ulama besar dari Unaizah (salah satu daerah di negeri Saudi Arabia-ed), ditanya:
Bagaimana dengan ungkapan yang banyak tersebar di masyarakat, yaitu: حب الوطن من الإيمان "Cinta tanah air adalah bagian dari iman." Apakah ungkapan ini adalah sebuah hadits yang shahih?

Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al 'Uqail rahimahullah, menjawab:
Al Ajluni dalam kitab Kasyful Khafa berkata: "Hadits ini dikatakan oleh As Shaghani sebagai hadits maudhu (palsu)." Al Ajluni juga berkata dalam kitab Al Maqashid: "Aku tidak ragu bahwa hadits ini palsu, namun maknanya benar." Pernyataan Al Ajluni yang menyatakan bahwa makna hadits ini benar disanggah oleh Al Qaari, ia berkata: "Pernyataan ini sungguh aneh. Karena antara cinta tanah air dengan keimanan sama sekali tidak ada kaitannya." Kemudian Al Qaari berdalil dengan ayat:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ

"Seandainya Allah memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka atau memerintahkan mereka untuk keluar dari negerinya, maka mereka tidak akan patuh, kecuali sedikit orang saja." (Qs. An Nisa: 66)

Ayat ini dalil bahwa mereka mencintai negeri mereka padahal mereka tidak memiliki iman karena yang dimaksud 'mereka' dalam ayat ini adalah orang-orang munafik (orang yang mengaku iman di lisan namun tidak dihatinya, pent).

Akan tetapi, sebagian ulama menyanggah Al Qaari dengan menyatakan bahwa yang dimaksud hadits ini bukanlah orang yang cinta tanah air itu pasti beriman. Melainkan maksudnya adalah bahwa 'cinta kepada tanah air tidak menafikan iman'.

Menurutku, andaikan hadits ini shahih, bisa dibenarkan jika wathon kita artikan sebagai:

Surga, karena surga adalah negeri pertama bagi keturunan Adam ' alaihissalam.
Mekkah, karena Mekkah adalah Ummul Quraa (Ibu kota dari semua kota) dan kiblatnya orang alim.
Negeri yang baik, namun dengan syarat cinta kepada negeri dikarenakan adanya itikad untuk menyambung silaturahim, atau berbuat baik kepada penduduk negeri tersebut, misalnya kepada orang fakir dan anak yatim (bukan karena semangat nasionalisme, pent).


Sehingga pemaknaan yang benar adalah tidak menghubungkan adanya cinta tanah air dengan keimanan, juga tidak memutlakkan, namun dimaknai secara umum saja. Perhatikanlah hadits:

حسن العهد من الإيمان، وحب العرب من الإيمان

"Menepati janji adalah bagian dari iman dan mencintai bangsa Arab adalah bagian dari iman."

Padahal orang kafir pun ada yang menepati janji dan mencintai bangsa Arab.

[Demikian penjelasan Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al 'Uqail, dikutip dari Fatawa Mawqiul Islam, fatwa no. 15]

Ulama pakar hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah: "Hadits ini adalah hadits palsu. As Shaghani dan ulama yang lain berkata: 'Makna hadits ini tidak benar. Karena kecintaan kepada tanah air seperti mencintai diri sendiri, mencintai harta, dan semacamnya. Ini semua merupakan sifat-sifat manusiawi sehingga seseorang yang mencintai hal-hal tersebut tidak serta-merta dipuji. Oleh karena itu, mencintai tanah air bukan bagian dari iman. Bukankah anda melihat bahwa semua manusia memiliki sifat ini? Baik yang mu'min maupun yang kafir tanpa terkecuali.' (Silsilah Ahadits Adh Dhaifah, 36)

Nasionalisme yang Dibenarkan Islam

Dari penjelasan-penjelasan di atas, semoga pembaca dapat memahami bahwa semangat nasionalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam karena semangat nasionalisme mendahulukan dan mengutamakan persaudaraan antara orang-orang sebangsa daripada persaudaraan Islam. Semangat nasionalisme juga menempatkan kecintaan terhadap tanah air melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia rela melakukan hal yang bermanfaat bagi negerinya meskipun itu mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Namun cinta tanah air tidak selamanya keliru.

Berbicara tentang cinta tanah air, memang benar bahwa mencintai tanah kelahiran adalah hal yang manusiawi. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mencintai tempat kelahiran beliau, Makkah. Sampai-sampai beliau bersabda:

ما أطيبكِ من بلد، وأحبَّكِ إليَّ، ولولا أن قومي أخرجوني منكِ ما سكنتُ غيركِ

"Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku tidak akan pernah tinggal di negeri lain." (HR. At Tirmidzi no.3926, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Beliau mencintai Makkah bukan karena semata-mata tempat kelahiran, namun karena Makkah adalah negeri kaum muslimin, negeri tauhid yang diwariskan Ibrahim 'Alahissalam. Oleh karena itu, beliau pun mencintai Madinah, yang juga negeri kaum muslimin, walaupun bukan tempat kelahiran beliau. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika peristiwa hijrah ke Madinah:

اللهم حبب إلينا المدينة كحبنا مكة أو أشد

"Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar dari itu." (HR. Bukhari no.6372)

Maka nasionalisme yang benar adalah nasionalisme yang didasari rasa cinta kepada Allah Ta'ala. Yaitu mencintai negeri tempat kelahiran kita yang merupakan negeri kaum muslimin, karena Islam ditegakkan di dalamnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: "Tanah air dicintai jika ia merupakan negeri kaum muslimin. Setiap orang wajib bersemangat untuk berbuat kebaikan di negerinya, juga di negeri lain yang merupakan negeri kaum muslimin. Setiap orang juga wajib mengusahakan keluarga dan kerabatnya tinggal di negeri kaum muslimin." (Fatawa Wal Maqalat Mutanawwi'ah, Juz 9, http://www.binbaz.org.sa/mat/2078 )

Selain itu, sebagaimana dijelaskan Syaikh Al Uqail, semangat cinta tanah air dapat dibenarkan jika diniatkan dalam rangka ingin berbuat baik kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, ia mencintai negerinya karena orang-orang yang ia sayangi berada di negeri tersebut, dan ia ingin berbuat baik kepada mereka. Karena memang Islam mengajarkan untuk mendahulukan orang-orang terdekat dalam berbuat kebaikan. Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." (Qs. At Tahrim: 5)

Allah Ta'ala juga berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيئًاۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat..." (Qs. An Nisa: 36)

Oleh karena itu, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk meninggalkan semangat nasionalisme jahiliyyah dan beralih kepada semangat nasionalisme di dasari rasa cinta kepada Allah Ta'ala. Mari kita bersama membangun negeri kita ini dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kaum muslimin kuat dan kokoh. Mari kita dukung program-program pemerintah yang sejalan dengan nilai-nilai Islami, dan mari unggulkan negeri kita ini dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Kemudian, ikatlah persaudaraan yang erat antara kaum muslimin dimana pun berada, selama ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sungguh persaudaraan karena Allah itu sangat indah.

Mudah-mudahan Allah menjadikan negeri kita ini sebagai negeri yang diridhai-Nya. Semoga pada negeri ini diturunkan rahmah serta keberkahan Allah di dalamnya. Semoga Allah menjadikan penduduknya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah serta bersatu-padu menjalin persaudaraan yang kuat dan kokoh karena-Nya. Wallahul musta'an.

***

Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/manhaj/ketika-dua-negeri-berseteru.html

Rabu, 11 November 2009

Nasehat Ulama: Di Balik Musibah Gempa Bumi

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba'du:

[Gempa Bumi, Di Antara Tanda Kekuasaan Allah][1]

Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua yang dilaksanakan dan ditetapkan. Sebagaimana juga Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua syari'at dan semua yang diperintahkan. Allah menciptakan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Dia pun menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Dengan tanda-tanda tersebut, Allah mengingatkan kewajiban hamba-hamba-Nya, yang menjadi hak Allah 'azza wa Jalla. Hal ini untuk mengingatkan para hamba dari perbuatan syirik dan melanggar perintah serta melakukan yang dilarang.

Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا

"Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti." (Qs. Al-Israa: 59)

Allah Ta'ala juga berfirman,

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu." (Qs. Fushilat: 53)

Allag Ta'ala pun berfirman,

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ

"Katakanlah (Wahai Muhammad): "Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain." (Qs. Al-An'am: 65)

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala turun firman Allah Ta'ala dalam surat Al An'am [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a: "Aku berlindung dengan wajah-Mu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan (membaca) [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a lagi, "Aku berlindung dengan wajah-Mu." [2]

Diriwayatkan oleh Abu Syaikh Al Ash-bahani, dari Mujahid tentang tafsir surat Al An'am ayat 65 [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah halilintar, hujan batu dan angin topan.  Sedangkan firman Allah [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], yang dimaksudkan adalah gempa dan tanah longsor.

Jelaslah, bahwa musibah-musibah yang terjadi pada masa-masa ini di berbagai tempat termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah guna menakut-nakuti para hamba-Nya.

[Musibah Datang Dikarenakan Kesyirikan dan Maksiat yang Diperbuat]

(Perlu diketahui), semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

"Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema'afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (Qs. Asy-Syuura: 30)

Allah Ta'ala juga berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

"Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri." (Qs. An-Nisaa: 79)

Allah Ta'ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu,

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (Qs. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]

Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari'at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah 'Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. Al-A'raaf: 96)

Allah Ta'ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka." (Qs. Al-Maidah: 66)

Allah Ta'ala berfirman,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ, أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ, أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

"Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Qs. Al-A'raaf: 97-99)

[Perkataan Para Salaf Ketika Terjadi Gempa]

Al 'Allaamah Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, "Pada sebagian waktu, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan izin kepada bumi untuk bernafas, lalu terjadilah gempa yang dahsyat. Akhirnya, muncullah rasa takut yang mencekam pada hamba-hamba Allah. Ini semua sebagai peringatan agar mereka bersegera bertaubat, berhenti dari berbuat maksiat, tunduk kepada Allah dan menyesal atas dosa-dosa yang selama ini diperbuat. Sebagian salaf  mengatakan ketika terjadi goncangan yang dahsyat, "Sesungguhnya Allah mencela kalian." 'Umar bin Khatthab -radhiyallahu 'anhu-, pasca gemba di Madinah langsung menyampaikan khutbah dan wejangan. 'Umar -radhiyallahu 'anhu- mengatakan, "Jika terjadi gempa lagi, janganlah kalian tinggal di kota ini." Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim -rahimahullah-. Para salaf memiliki perkataan yang banyak mengenai kejadian semacam ini.

[Bersegera Bertaubat dan Memohon Ampun pada Allah]

Saat terjadi gempa atau bencana lain seperti gerhana, angin ribut dan banjir, hendaklah setiap orang bersegera bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, merendahkan diri kepada-Nya dan memohon keselamatan dari-Nya, memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan pada Allah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana bersabda, "Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah berdzikir kepada Allah, memperbanyak do'a dan bacaan istighfar."[3]

[Dianjurkan Memperbanyak Sedekah dan Menolong Fakir Miskin]

Begitu pula ketika terjadi musibah semacam itu, dianjurkan untuk menyayangi fakir miskin dan memberi sedekah kepada mereka. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ارْحَمُوا تُرْحَمُوا

"Sayangilah (saudara kalian), maka kalian akan disayangi."[4]

Juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

"Orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di muka bumi, kalian pasti akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit."[5]

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

"Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang."[6]

Diriwayatkan dari 'Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- bahwasanya saat terjadi gempa, beliau menulis surat kepada pemerintahan daerah bawahannya agar memperbanyak shadaqah.

[Yang Mesti Diperintahkan Pemimpin Kaum Muslimin kepada Rakyatnya]

Di antara sebab terselamatkan dari berbagai kejelekan adalah hendakanya pemimpin kaum muslimin bersegera memerintahkan pada rakyat bawahannya agar berpegang teguh pada kebenaran, kembali berhukum dengan syari'at Allah, juga hendaklah mereka menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijakasana." (Qs. At-Taubah: 71)

Allah Ta'ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ, الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar ; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Qs. Al-Hajj : 40-41)

Allah Ta'ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Qs. Ath-Thalaaq: 2-3)

Ayat-ayat semacam ini amatlah banyak.

[Anjuran untuk Menolong Kaum Muslimin yang Tertimpa Musibah]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

"Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya."[7]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

"Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya."[8] Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.

Hadits-hadits yang mendorong untuk menolong sesama amatlah banyak.

Hanya kepada Allah kita memohon agar memperbaiki kondisi kaum Musimin, memberikan pemahaman agama, menganugrahkan keistiqomahan dalam agama, dan segera bertaubat kepada Allah dari setiap dosa. Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa kaum Muslimin. Semoga Allah menolong dalam memperjuangkan kebenaran dan menghinakan kebathilan melalui para penguasa tersebut. Semoga Allah membimbing para penguasa tadi untuk menerapkan syari'at Allah bagi para hamba-Nya. Semoga Allah melindungi mereka dan seluruh kaum Muslimin dari berbagai cobaan dan jebakan setan. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk hal itu.

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari pembalasan.

Mufti 'Aam Kerajaan Saudi Arabia
Ketua Hai-ah Kibaril 'Ulama', Penelitian Ilmiah dan Fatwa
'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz[9]

Sumber: Majmu' Fatawa Ibnu Baz, 9/148-152, Majmu' Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi'ah Li Samahah As Syaikh Ibnu Baz, Mawqi' Al Ifta' (http://alifta.net)

Panggang, 14 Syawwal 1430 H

***

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Footnote:

[1] Yang mengalami tanda kurung semacam ini "[…]" di awal paragraf adalah tambahan judul dari penerjemah untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan.

[2] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Tafsir Al Qur'an no. 4262 dan At Tirmidzi dalam Tafsir Al Qur'an no. 2991

[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Jumu'ah no. 999 dan Muslim dalam Al Kusuf no. 1518

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no. 6255.

[5] Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1847.

[6] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 5538 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1834.

[7] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Mazholim dan Al Ghodhob no. 2262 dan Muslim no. 4677 dengan lafazh yang disepakati oleh keduanya.

[8] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr, Ad Du'aa dan At Taubah no. 4867 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1853.

[9] Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz lahir pada tahun 1330 H di kota Riyadh. Dulunya beliau memiliki penglihatan. Kemudian beliau tertimpa penyakit pada matanya pada tahun 1346 H dan akhirnya lemahlah penglihatannya. Pada tahun 1350 H, beliau buta total. Beliau telah menghafalkan Al Qur'an sebelum baligh. Beliau sangat perhatian dengan hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Beliau pernah menjabat sebagai Mufti 'Aam Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta' (Komisi Fatwa di Saudi Arabia). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 27/1/1420 H pada umur 89 tahun. (Sumber: http://alifta.net/Fatawa/MoftyDetails.aspx?ID=2)

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/nasehat-ulama/nasehat-ulama-di-balik-musibah-gempa-bumi.html

Fathu Makkah: Pelajaran dari Penaklukan Kota Mekkah

Fathu Makkah: Pelajaran dari Penaklukan Kota Mekkah
diposting oleh Muslim.or.id pada tanggal September 8, 2009 (1:43 pm) di kategori Sejarah Islam

Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta'ala.

Sebab Terjadinya Fathu Makkah

Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza'ah di kubu Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza'ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza'ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata
pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza'ah menghadap Nabi shallallahu 'alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.

Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu 'alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu 'anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, "Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri per
lindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu."

Abu Sufyan berkata,
"Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?"

Ali menjawab,
"Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu."

Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
"Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!"
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.

Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, "Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba."

Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

"Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (Qs. Al Anfal: 58)

Kisah Hatib bin Abi Balta'ah radhiyallahu 'anhu

Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta'ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.

Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu 'anhu berkata,

"Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu."

Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu 'anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.

Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta'ah. Dengan bijak Nabi shallallahu 'alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta'ah pun menjawab:

"Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana."

Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,

"Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik."

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
"Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar... (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni."

Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, "Allah dan rasulNya lebih mengetahui."

Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu 'anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah...." (Qs. Al Mumtahanah: 1)

Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta'ah radhiyallahu 'anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, "Hai orang-orang yang beriman......" Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.

Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah

Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa', beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.

Nabi shallallahu 'alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu 'anhu, "Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu 'anhu-".

Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu 'anhu sebagai penjaga.

Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa' yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.

"Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?" tanya Abu Sufyan

"Itu Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!" jawab Abbas.

Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata,

"Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam.

Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, "Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya."

Abbas pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya."

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!"

Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Beliau bersabda,"Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?"

Abu Sufyan mengatakan,
"Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini."

Nabi shallallahu 'alahi wa sallam bersabda,"Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?"

Abu Sufyan menjawab,"Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini."

Abbas menyela, "Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!"

Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.

Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, "Kabilah apa ini?" dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, "Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan."

Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, "Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?"

Abbas menjawab: "Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar."

Abu Sufyan bergumam, "Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka."

Abbas berkata: "Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah."

Bendera Anshar dipegang oleh Sa'ad bin Ubadah radhiyallahu 'anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa'ad berkata,
"Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy."

Ketika ketemu Nabi shallallahu 'alahi wa sallam, perkataan Sa'ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu 'alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,

"Sa'ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka'bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah."

Kemudian, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa'd diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa'd. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu 'alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu' beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.

Kemudian, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

"Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Qs. Al Fath: 1)

Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
"Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman."

Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka'bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:

جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

"Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (Qs. Al-Isra': 81)

جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

"Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi." (Qs. Saba': 49)

Kemudian, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam memasuki Ka'bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.

Beliau bersabda, "Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini."

Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka'bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka'bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka'bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu 'alahi wa sallam.

Dengan memegangi pinggiran pintu Ka'bah, beliau bersabda:

"لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه

"Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah."

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?"

Merekapun menjawab, "Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia."

Beliau bersabda,
"Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: 'Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.' Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!"

Pada hari kedua, Nabi shallallahu 'alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam, maka jawablah: "Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu 'alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir."

Nabi shallallahu 'alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.

Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.

Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/sejarah-islam/fathu-makkah-pelajaran-dari-penaklukan-kota-mekkah.html

Selasa, 10 November 2009

Kapan Mau Berhenti Merokok?

Apakah anda termasuk penggemar rokok? Baiklah, sebelum anda merogoh saku anda dan mengambil uang untuk membeli rokok marilah kita berbicara barang sejenak dengan akal yang jernih dan pikiran yang tenang mengenai hal ini. Jangan sampai anda melakukan sesuatu yang justru membahayakan diri anda dan juga orang-orang di sekitar anda.


Berbicara soal rokok, ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan:

Pertama: Merokok itu tidak penting

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baginya." (HR. Tirmidzi [2239] dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan at-Tirmidzi [2317] as-Syamilah). Syaikh as-Sa'di rahimahullah mengatakan, "Kesimpulan tersirat dari hadits ini adalah orang yang tidak meninggalkan perkara yang tidak penting baginya adalah orang yang jelek keislamannya." (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 116).

Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, "Salah satu tanda Allah telah berpaling meninggalkan seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan dia sibuk dalam hal-hal yang tidak penting baginya." (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 115).

Menjaga kesehatan merupakan perkara penting bagi setiap muslim. Orang yang dengan sengaja merusak kesehatannya telah melakukan sesuatu yang tidak penting dan bahkan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Padahal, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (Qs. al-Baqarah: 195)

Di sisi lain, orang yang merusak kesehatannya sendiri, maka dia telah menyia-nyiakan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada dua buah nikmat yang banyak manusia rugi karena tidak bisa menggunakannya yaitu; kesehatan dan waktu luang." (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma). Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan merupakan nikmat dari Allah, oleh sebab itu kita harus mensyukuri nikmat tersebut.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur." (Qs. al-Baqarah: 152). Syukur adalah mengakui dengan hati kita bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah, memuji Allah dengan lisan, kemudian menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Apakah merokok termasuk maksiat, nanti akan kita bicarakan! Yang jelas semua orang -yang masih sehat akalnya- bahkan para dokter dan pemerintah sekalipun mengakui bahwa merokok merugikan kesehatan.

Kedua: Merokok menyia-nyiakan harta

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah membenci untuk kalian; menyebarkan berita yang tidak jelas, terlalu banyak bertanya yang tidak perlu, dan menyia-nyiakan harta." (HR. Muslim [3236] dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu as-Syamilah). Yang dimaksud menyia-nyiakan harta adalah menggunakan harta untuk keperluan yang tidak dibenarkan oleh syari'at, demikian keterangan an-Nawawi rahimahullah (Syarh Muslim [6/144] as-Syamilah).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tabdzir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedangkan syaitan adalah makhluk yang senantiasa kufur kepada Rabbnya." (Qs. al-Israa' : 27). Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu mengatakan, "Tabdzir adalah membelanjakan harta bukan dalam perkara yang haq." Ibnu Abbas juga mengatakan demikian. Qatadah mengatakan, "Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk bermaksiat kepada Allah ta'ala, untuk keperluan yang tidak benar atau untuk mendatangkan kerusakan." (Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, 5/53)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa orang yang membelanjakan hartanya untuk keperluan yang sia-sia, menimbulkan kerusakan, atau dalam rangka bermaksiat pada hakikatnya sedang menjalin ukhuwah syaithaniyah. Padahal kita semua tahu bahwa syaitan adalah musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai saudara? Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya syaitan adalah musuh kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya mengajak kaum pengikutnya agar mereka menjadi penghuni-penghuni neraka." (Qs. Fathir: 6)

Belum lagi kalau kita perhatikan di antara sekian banyak kasus kebakaran ternyata sumbernya adalah puntung rokok dari 'saudara syaitan' yang tidak bertanggung jawab! Sungguh bijak para pengelola POM bensin, pemilik Rumah Sakit, dan takmir masjid yang dengan terus terang mengatakan kepada para pengunjung bahwa merokok itu dilarang, dan tidak ada seorang pegunjung pun yang memprotes mereka! Karena mereka sama-sama sepakat bahwa api rokok adalah sumber kebinasaan!

Ketiga: Bau menjijikkan dan asap yang mengganggu kesehatan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seorang muslim yang baik adalah orang yang membuat kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah." (HR. Bukhari [10] dari Abdullah bin Amr radhiyallahu'anhuma).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya (atau beliau mengatakan; tetangganya) sebagaimana yang dicintainya bagi dirinya sendiri." (HR. Bukhari [13] dan Muslim [45] dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu). Di dalam riwayat Nasa'i dengan tambahan keterangan yaitu, "[berupa] kebaikan." (HR. Nasa'i [4931] as-Syamilah)

Menjelang wafatnya, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu berkhutbah di hadapan para sahabat, di antara isi ceramahnya, "Wahai manusia, sesungguhnya kalian biasa memakan dua jenis tanaman yang tidak sedap baunya yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh dahulu aku melihat apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati bau kedua tanaman itu pada [mulut] salah seorang yang ada di masjid maka beliau menyuruhnya untuk keluar ke Baqi'. Maka barangsiapa di antara kalian yang ingin memakannya hendaklah dia memasaknya terlebih dulu (agar berkurang baunya, pent)." (HR. Muslim [567] dari Ma'dan bin Abi Thalhah).

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Sayuran ini -yaitu bawang dan semacamnya- adalah halal berdasarkan ijma' para ulama yang diakui pendapatnya." (Syarh Muslim [3/366]). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang memakan jenis tanaman yang menjijikkan ini maka janganlah dia mendekati kami di masjid." Setelah mendengar ucapan itu para sahabat mengatakan, "Makanan itu diharamkan, iya diharamkan." Kemudian sampailah ucapan mereka itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda, "Hai umat manusia, sesungguhnya aku tidak berhak mengharamkan apa yang Allah halalkan untukku, hanya saja aku tidak menyukai bau tanaman itu." (HR. Muslim [565] dari Abu Sa'id).

Nah, lihatlah wahai saudaraku, kalau sesuatu yang halal saja -seperti bawang- dapat memunculkan rasa tidak suka pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam gara-gara baunya yang tidak sedap, lantas bagaimana lagi dengan sesuatu yang membahayakan -yaitu rokok- yang menimbulkan bau tak sedap di mulut orang yang menghisapnya dan mengganggu orang dengan asapnya yang membuat orang terbatuk-batuk dan 'terpaksa' menyerap racun (baca: nikotin) ke dalam tubuh mereka?

Keempat: Merokok terbukti membahayakan

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -yang tidak berbicara menuruti kemauan hawa nafsunya- bersabda, "Tidak boleh mendatangkan bahaya secara tak sengaja maupun disengaja." (HR. Ibnu Majah [2331] dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu'anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [250])

Syaikh Dr. Muhammad Shidqi mengatakan, "Hadits ini merupakan landasan hukum yang tegas mengenai pengharaman mendatangkan bahaya, sebab penafian di sini menggunakan ungkapan yang mencakup segala objek dan menunjukkan haramnya segala jenis bahaya yang dilarang oleh syari'at. Hal itu disebabkan perbuatan mendatangkan bahaya termasuk dalam kezaliman, kecuali tindakan tertentu yang terdapat dalil yang mengecualikannya seperti hukuman had (potong tangan, dsb) dan dijatuhkannya berbagai bentuk hukuman..." (al-Wajiz fi Idhahi Qawa'id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 252)

Fatwa Ulama

Dengan melihat realita dan bukti-bukti medis yang ada maka Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah dalam fatwanya menegaskan haramnya mengkonsumsi rokok (lihat al-Adillah wa al-Barahin 'ala Hurmat at-Tadkhin). Demikian juga al-Lajnah ad-Da'imah (Komite tetap urusan fatwa Kerajaan Arab Saudi) menyatakan haramnya hal itu dalam Fatwanya (Fatawa Lajnah [7/283] pertanyaan kedua dari fatwa no 3623, as-Syamilah). Kita tidak menafikan adanya sebagian ulama yang menyatakan kebolehannya [dan anda telah melihat bahwa dalil-dalil yang ada dan bukti medis berseberangan dengan pendapat mereka], meskipun demikian mereka juga mengatakan bahwa meninggalkan rokok itulah yang lebih baik! (lihat Mathalib Uli an-Nuha fi Syarhi Ghayat al-Muntaha [18/212] as-Syamilah). Dan perlu diketahui bahwa mereka menyatakan bolehnya hal itu dengan alasan; [1] hukum asal segala sesuatu adalah halal, dan [2] tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa merokok dapat merusak kesehatan tubuh, sementara pada jaman sekar
ang bukti itu telah tampak bagi setiap orang!! Dan kita pun telah paham berdasarkan dalil yang ada bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah dilarang dalam agama. Bahkan, hal itu merupakan kaidah yang populer di kalangan para ulama.

Berpikirlah!

Saudaraku, sekarang tanyakanlah kepada dirimu sendiri, apakah rokok itu berbahaya bagi kesehatan? Jawabnya sudah sangat mutawatir bukan? Para produsen rokok pun mengakuinya. Merokok dapat merugikan kesehatan, menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin. Itulah peringatan pemerintah kita, semoga kita mengindahkan peringatan ini dengan sebaik-baiknya. Kalau bukan karena rasa sayang pemerintah kepada rakyatnya tentu mereka tidak akan mengharuskan pabrik rokok untuk mencantumkan peringatan ini di dalam iklan-iklan dan bungkus rokok tersebut. Aduhai, alangkah indahnya negeri ini jika rakyatnya mau menaati pemerintahnya dalam hal ketaatan!

Ucapkanlah selamat tinggal untuk rokok, sekarang dan untuk selama-lamanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya." (Disebutkan oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah [1/214], as-Suyuthi dalam ad-Durrar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah [1/19] as-Syamilah, Syaikh al-Albani mengatakan, "Hadits ini merupakan bagian dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya sahih", Hijab al-Mar'ah wa Libasuha fi ash-Shalah, hal. 47. al-Maktab al-Islami, islamspirit.com)

***

Tulisan ini disusun dengan inspirasi dari :
al-Adillah wa al-Barahin 'ala Hurmat at-Tadkhin karya Syaikh Ibrahim Muhammad Sarsiq

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel abu0mushlih.wordpress.com dipublikasi ulang oleh muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah - http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini: http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/kapan-mau-berhenti-merokok.html